Mengintip Kompas Hukum Munarman dan Polda Bali

forumriau.com 29.1.17
forumriau.com
Minggu, 29 Januari 2017
Hukum di suatu negara bertujuan untuk memberikan ketertiban dan keamanan bagi masyarakat. Ketertiban tersebut akan terjaga bila masyarakat menaati hukum yang ada dalam masyarakat itu.

Menurut Van Apeldoorn, hukum tidak cukup diartikan sebagai aturan yang mengikat warganya saja, melainkan harus memiliki aspek keadilan dan asas lain yang berguna melindungi warganya dengan adil, dan menjamin kepastian hukum bagi setiap warga negara, tanpa kecuali.

Agar terwujudnya kepastian hukum, penting bagi seluruh masyarakat untuk mematuhi hukum/perundang-undangan yang berlaku. Hal ini juga berlaku bagi aparat penegak hukum, harus menjalankan dan menegakkan tugas dan fungsinya berdasarkan aturan hukum.

Pada tanggal 16 Januari 2017 lalu, sejumlah tokoh lintas agama Bali melaporkan Sekretaris Jenderal Front Pembela Islam (FPI) Munarman ke Polda Bali. Laporan atas dugaan fitnah terhadap pecalang (Petugas Keamanan di Bali) pada saat pertemuan FPI dengan Kompas di Kantor Kompas Palmerah, Jakarta Barat, pada Kamis 17 Juni 2016.  Kejadian diunggah ke YouTube pada tanggal 17 Juni 2016 bukan oleh Munarman.

Munarman dilaporkan 7 bulan kemudian, dengan laporan melanngar ketentuan pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45a (2) UU No.19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tentang batas-batas berlakunya hukum pidana telah ditentukan dan diatur. Seperti dalam bab pertama buku I pasal 2–9 KUHP, di antaranya adalah mengenai batas berlakunya hukum pidana menurut tempat (locus delicti).

Locus delicti adalah lokasi atau tempat berlakunya hukum pidana yang dilihat dari segi lokasi terjadinya perbuatan pidana. Tujuan penentuan locus delicti adalah untuk menentukan wilayah penyidikan, kejaksaan dan pengadilan mana yang harus memproses perkaranya (kompetensi relatif).

Bahwa, secara formil hukum, apabila terjadi suatu perbuatan yang diduga tindak pidana, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 4 ayat 1 telah mengatur untuk wilayah administrasi kepolisian, daerah hukumnya dibagi berdasarkan pemerintahan daerah dan perangkat sistem peradilan pidana terpadu, yang mana laporan polisi dapat diajukan di:

  1. Daerah hukum kepolisian markas besar untuk wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  2. Daerah hukum kepolisian daerah untuk wilayah provinsi;
  3. Daerah hukum kepolisian resort untuk wilayah kabupaten/kota;
  4. Daerah hukum kepolisian sektor untuk wilayah kecamatan.

Berdasarkan peraturan tersebut, maka locus delicti tindak pidana yang dituduhkan kepada Munarman bukanlah berada pada wilayah hukum Polda Bali, namun berada pada wilayah hukum/penyidikan Polsek Palmerah, Polres Jakarta Barat, Polda Metro Jaya, atau dapat dilaporkan ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri).

Pembagian daerah hukum kepolisian ini adalah bertujuan untuk mengoptimalkan pencapaian sasaran fungsi, dan peran Polri, serta kepentingan pelaksanaan tugas dan kepastian hukum.

Di samping itu, dari sisi kompetensi relatif lembaga peradilannya, penentuan locus delicti penting dalam menentukan kewenangan Pengadilan Negeri mana yang mengadili suatu perkara pidana. Hal ini di dalam KUHAP diatur pada pasal 84 , pasal 85, dan pasal 86.

Bertitik tolak pada ketiga pasal tersebut maka pengadilan berikut proses pemeriksaan dari tahap penyidikan adalah di tempat kejadian perkara atau memungkinkan dilakukan di wilayah tempat tinggal terdakwa dengan syarat sebagian besar saksi berada di wilayah tempat tinggal terdakwa.

Dalam hal ini, wilayah Polda Bali, Kejaksaan Tinggi Bali, dan Pengadilan Negeri Denpasar tidak mencakup kedua Kriteria yang disebutkan di dalam KUHAP.

Dugaan tindak pidana yang dilaporkan tidak dilakukan di wilayah Bali, dan Munarman juga tidak bertempat tinggal ataupun menetap di wilayah Bali. Sehingga atas laporan tersebut, pihak Kepolisian Polda Bali tidak berwenang dalam melakukan penyidikan.

Bahwa, dengan dinaikkannya status laporan tersebut ke tingkat penyidikan, maka pihak Polda Bali telah melewati batas kewenangannya, menegakkan hukum dengan melanggar hukum. (Faire respecter la loi en enfreignant la loi) yaitu dengan melanggar Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana dan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2007 Tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara RI.

Dari segi substansi hukum, penerapan 28 ayat (2) jo Pasal 45a ayat (2) Undang-undang ITE ini dinilai tidak relevan diterapkan pada diri Munarman sebagai terlapor.

Jika diambil salah satu unsur saja dari kedua pasal ini (pasal 28 tentang perbuatannya dan pasal 45a tentang ketentuan pidananya) yaitu unsur menyebarkan informasi. Bahwa, yang dituju dari pasal ini (subjek hukumnya) adalah orang yang menyebarkan informasi dengan sarana elektronik terlepas nantinya terbukti apakah informasinya menyebabkan kebencian/permusuhan.

Seperti contoh pada kasus yang menjerat Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, pasal ini dapat diterapkan pada Buni Yani yang menyebarkan Informasi, bukan kepada sdr. Basuki yang menyampaikan pidato.

Hal ini sama dengan kasus Munarman, yang menurut pelapor diduga telah menfitnah pecalang (petugas keamanan di Bali), namun yang menyebarkan video pada youtube bukanlah Munarman, sehingga bukanlah Munarman yang harusnya dilaporkan sesuai dengan pasal pada UU ITE ini.

Analisa dan fakta tersebut memperlihatkan semakin menjauhnya hukum di Indonesia dari Kepastian Hukum. Aparat mulai mengenyampingkan aturan hukum yang mengikatnya.

Hal ini memperkuat dugaan bahwa kasus yang menimpa Munarman ini merupakan bagian dari bidikan dan kriminalisasi kepada tokoh FPI. Menyusul juga gencarnya laporan terhadap Ketua FPI Habib Rizieq, dan pasca tuntutan FPI kepada Kapolri untuk memecat  Kapolda Jawa Barat dan Kapolda Metro Jaya dari jabatannya.

Arah hukum kita mulai menuju ke arah hukum represif, sebagaimana dinyatakan Philippe Nonet & Philip Selznick, bahwa hukum dikendalikan oleh kekuasaan. Kriminalisasi adalah bentuk yang paling disukai oleh para penguasa politik dalam mengontrol warga masyarakat agar selalu menaati kehendak pemerintah.

Anche se la marcio avvolto correttamente, una volta sarĂ  anche diffondeva (Sesuatu yang tidak benar meskipun dikemas dengan rapat suatu ketika ketahuan juga).***
Penulis : Dr M Kapitra Ampera (Kuasa Hukum Munarman) Judul Awal: Munarman dan Polda Bali

Thanks for reading Mengintip Kompas Hukum Munarman dan Polda Bali | Tags:

Next Article
« Prev Post
Previous Article
Next Post »

Related Posts

Show comments